Meskipun Bali merupakan pulau kecil
dengan wilayah yang sempit, tetapi pulau ini memiliki beberapa kerajaan seperti
Kerajaan Buleleng dan Karangasem sehingga pemerintah Belanda ingin menguasai
sebagian wilayah kekuasaan kerajaan Bali.
Keinginan Belanda untuk menguasai
Bali dimulai sejak tahun 1841 dan seluruh raja di Bali dipaksa untuk
menandatangani perjanjian yang isinya agar raja di Bali mengakui dan tuntuk
kepada pemerintah Belanda. Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini mendapat
perlawanan dari rakyat Bali.
Keinginan Belanda untuk menguasai
Bali selalu tidak berhasil karena Bali masih bersifat konservatif (masih
berlaku adat atau tradisi), yaitu hak tawan karang yang dianggap oleh Belanda
sangat merugikan. Pada tahun 1844, kapal Belanda terdampar di Pantai Buleleng
dan dikenakan hukum tawan karang. Pihak Belanda menolak dan menunjukkan sikap
tidak terpuji, yaitu selalu turut campur urusan kerajaan di Bali dengan mengajukan
tuntutan dengan isi sebagai berikut:
- Membebaskan Belanda dari hukum Tawan Karang.
- Kerajaan Bali mengakui pemerintahan Hindia Belanda.
- Kerajaan Bali melindungi perdagangan milik pemerintah Belanda.
- Semua raja di Bali harus tunduk terhadap semua perintah kolonial Belanda.
Semua tuntutan yang diajukan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Bali ditolak sehingga pada tahun 1846
Belanda menyerang wilayah Bali Utara dan memaksa Raja Buleleng untuk
menandatangani perjanjian perdamaian yang isinya antara lain sebagai berikut:
- Benteng Kerajaan Buleleng agar dibongkar.
- Pasukan Belanda ditempatkan di Buleleng.
- Biaya perang harus ditanggung oleh Raja Buleleng.
Pada tahun 1848, raja-raja di Bali
tidak lagi mematuhi kehendak Bali, bahkan beberapa kerajaan telah bersiap-siap
untuk menghadapi Belanda. Pos-pos pertahanan Belanda di Bali diserbu dan semua
senjata dirampas oleh Gusti Jelantik. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan
Belanda dan menuntut agar Gusti Jelantik diserahkan kepada Belanda.
Pada tahun 1849, pasukan Belanda
datang dari Batavia untuk menyerbu dan menguasai seluruh pantai Buleleng dan
menyerbu Benteng Jagaraga. Pasukan Bali melakukan perlawanan habis-habisan (puputan)
tetapi akhirnya Benteng Jagaraga dapat dikuasai oleh Belanda. Sejak runtuhnya
Kerajaan Buleleng, perjuangan rakyat Bali makin lemah. Meskipun demikian,
Kerajaan Karangasem dan Klungkung masih berusaha melakukan perlawanan terhadap
Belanda.
Sejarah
Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda,
setelah Belanda berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak
tawan karang. Hak tawan karang yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk
merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang
bersangkutan.
Telah berulang kali kapal Belanda
hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga
terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan
Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843). Akan tetapi,
kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk menggunakan
kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam menghadapi perlawanan
rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara
besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan
1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi
kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut
dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelantik, yang telah mempersiapkan
pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga I.
Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik
yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda
mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni
4.177 orang pasukan, kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang
berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan
menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir
penjajahan Belanda.
Dalam pertempuran ini, pihak Belanda
mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di
bawah pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan
kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya
Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin
mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan rakyat Bali tidaklah
padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat senjata melawan Belanda,
namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan
di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan
masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada
di bawah kekuasaan Belanda.
Sejarah Perang Bali 1846-1849
Sejarah Perang Bali 1846-1849 – Sahabat Pustakers, pada kesempatan kali ini Putsaka
Sekolah akan berbagi arikel yang berjudul Sejarah Perang Bali 1846-1849. Pada
abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica
(perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan
seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan
antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan
Buleleng. Salah satu isinya bebunyi:
Raja-raja
Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda.
Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.
Masalah
utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini
dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar
di perairan wilayah kerajaan tersebut.
Antara
Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang
Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843
isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah
Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pantai
Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu
persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng
berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut
Jelantik. Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya
adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan, Kenapa
dikatakan dengan Perang Puputan?, Karena perang dijiwai oleh semangat puputan
yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan
prinsip sebagai berikut:
- Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Benteng
Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan
parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka
raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan
sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit
ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan
memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas
digaris depan.
Pada
tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan
2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral
Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan
Belanda dapat digagalkan.
Pada
tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000
orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni
dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga
dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur,
mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik
yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda
dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali
juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun
akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.
Sumber Segala Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar